Pada masa perilisannya di tahun 1980, The Shining boleh dikatakan tidak terlalu disukai baik oleh penonton awam maupun kritikus. Bahkan Stephen King, penulis novelnya sendiri mengaku kecewa dengan betapa jauh berbedanya film ini dengan apa yang dibayangkannya. But wait a minute, ini adalah karya seorang sutradara jenius Stanley Kubrick. Ini tidak mungkin buruk. Dan tampaknya memang butuh satu – dua dekade bagi dunia untuk akhirnya benar-benar bisa memahami otak Kubrick. Seiring dengan waktu, kini orang-orang mengakui The Shining sebagai salah satu horror cult-classic terbaik yang pernah ada, dan saya amat setuju dengan pernyataan ini.
Sebagai film horror, sebenarnya adegan “horror” The Shining sendiri sangat minim. Tidak banyak adegan darah berdarah di sini, dan kemunculan hantunya juga sebenarnya tidak semenakutkan itu. Tapi letak esensi sebuah film horror sesungguhnya ada pada bagaimana sutradara mampu membangun atmosfer kelam nan menegangkan, dan di area inilah The Shining bermain. Stanley Kubrick yang memang terkenal sangat perfeksionis mampu membangun ketegangan itu dengan perlahan – kemudian menyentak dengan seenaknya sendiri. Ada banyak momen – momen creepy yang klasik dan tidak mudah dilupakan (mulai dari redrum, the twin sisters, hingga “Hereee iss Johnny!!”).
Konon katanya, kisah The Shining versi film sedikit berbeda dengan The Shining versi novel. Adaptasi bebas ini tampaknya membuat Kubrick memberikan sentuhan “keabsurdan”-nya yang khas. Menyaksikan The Shining (yang kabarnya adalah film Kubrick yang lumayan “mainstream”) tidak bisa dengan kacamata sederhana – jangan berharap mendapatkan tontonan yang memuaskan dari segi plot cerita. Ada banyak ambiguitas yang membuatmu harus menafsirkannya sendiri, dan ini kadang bisa membuat penonton merasa frustasi. Saya sendiri menyaksikannya tanpa memang berharap mendapatkan suguhan sederhana tentang horror di hotel yang terisolasi sehingga saya cukup enjoy.
Boleh dikatakan ini adalah salah satu penampilan terbaik yang pernah dilakukan Jack Nicholson. Aktingnya kacau, neurotik, psikopat, dan ada kesan arogansi yang entah kenapa terasa seksi bagi saya seorang wanita. Kabarnya sih Stephen King tidak setuju ketika tahu bahwa karakter Jack Torrance akan diperankan oleh Jack Nicholson, karena merasa bahwa audiens akan segera tahu bagaimana Jack akan berubah menjadi gila dengan stereotip peran Jack Nicholson sebelumnya. Tapi saya tidak tahu siapa lagi yang akan berakting sebaik Jack Nicholson karena bahkan senyumannya begitu mengerikan dan menegangkan.
Yang juga menarik untuk dibahas adalah pemilihan aktris Shelley Duvall untuk berperan sebagai Wendy. Dikatakan di beberapa forum memang Wendy disebut sebagai karakter yang amat berisik atau annoying dan saya juga merasa hal yang sama. Terlepas dari kecantikan Shelley Duvall yang unik, karakter Wendy adalah paradoks yang menarik. Stephen King juga tidak sepakat ketika Kubrick menunjuk Duvall sebagai Wendy, ia membayangkan Wendy akan diperankan oleh tipikal gadis cheerleader-blondie, dan Duvall jauh dari itu. Saya juga merasa bahwa aktingnya terbilang annoying, entahlah, ada aura “mengganggu” memang pada Shelley Duvall atau karakter Wendy itu sendiri. But I think that is exactly what Kubrick really want. Karakter Wendy adalah karakter yang unik: she might dress like Goofy, but she is nice and kind, but then somehow you still hate her so bad. Dan itulah yang dipikirkan si Jack Torrance. Istrinya sudah sebegitu baiknya, tapi dia masih marah-marah. Kita pun ironisnya ada di posisi yang sama dengan Jack Torrance, Wendy sendiri menerima semua itu, hingga ia merasa bahwa ia dan Jack berada dalam bahaya. Inilah dimana saya merasa bahwa Shelley Duvall, berhasil memerankan karakter Wendy dengan baik.
Saya jarang menyaksikan film horror yang seartistik The Shining. Opening scene-nya saja sudah begitu menggoda, menampilkan pegunungan-pegunungan indah – lantas muncul hotel serupa kastil tua yang creepy, dan segera meyakinkanmu bahwa ada yang tidak beres dengan bangunan itu. Stanley Kubrick banyak bermain dengan low-mode steadicam, mengajak kita mengikuti “petualangan” kecil si Danny yang bermain dengan sepedanya menelusuri bangunan hotel dengan interiornya yang indah dan megah. Saya sendiri amat mencintai overlook dari design hotel yang ditampilkan. Ditambah pula dengan backsound music yang menambah suasana semakin menakutkan, kemudian pada beberapa scene mendadak hening dan membuat suasanya justru makin mencekam. Scene di Bathtub sendiri masih membuat saya takut hingga sekarang.