Mari kita jujur-jujuran lagi di sini. Blade Runner bukanlah film yang seru untuk ditonton. Beberapa kali saya menontonnya saya selalu berhenti di tengah-tengah akibat temponya yang lambat sekali. Jangan harap melihat adegan aksi yang seru, karena meskipun memiliki judul yang cukup atraktif, Blade Runner sangat minim dengan adegan-adegan demikian.
Blade Runner juga cenderung sulit diikuti karena penceritaannya yang kurang jelas. Entah karena transisi adegan demi adegan yang terasa tidak halus atau karakter-karakternya yang membosankan, tidak ada ikatan emosional yang terbentuk dengan cerita ataupun para tokoh-tokoh di dalam film ini. Dan entah ini kesengajaan atau tidak, tapi yang jelas, ini adalah kekurangan yang cukup berarti karena mempersulit penonton untuk menikmatinya.
Namun, Blade Runner memiliki elemen filosofis yang cukup menarik dan itu yang membuat film ini menjadi sangat legendaris. Blade Runner berpusat tentang konflik antar android dan manusia, dalam kata lain, Sang Ciptaan dan Sang Pencipta. Konsep inilah yang kemudian dipermainkan di filmnya.
Android-android yang menjadi antagonis di Blade Runner adalah model yang jauh lebih manusiawi dibanding sebelumnya. Di mana selain dari fisik dan kepintaran komputer mereka yang jauh lebih maju, android-android ini seolah-olah memiliki emosi, sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki oleh benda mati seperti mereka dan hanya bisa dimiliki oleh makhluk hidup, terutama manusia.
Pertanyaan moral di film ini adalah: Manusiawikah para blade runner untuk mem-pensiunkan atau membunuh para android ini hanya karena mereka diangap sebagai benda mati belaka? Apabila android sanggup memiliki emosi, apa yang membedakan mereka dari pencipta mereka yaitu manusia? Mana yang lebih dingin dan mana yang lebih “manusiawi”?
Dengan memberikan pertanyaan yang kental akan moralitas memang menjadi alasan pertama mengapa Saya sangat menyukai film Blade Runner (1982) ini yang amat dalam dan bisa dikatakan filosofikal.