Saat saya menonton Pengabdi Setan di bioskop, sebelum film diputar, ada beberapa trailer film yang di tayangkan. Salah satu trailer film yang cukup menarik perhatian saya adalah Posesif. Awalnya, saya kira film ini sekadar film cinta-cintaan remaja pada umumnya. Namun, pada babak akhir trailer, dimunculkan sebuah konflik yang tidak biasa dihadirkan di film cinta-cintaan remaja Indonesia kebanyakan.
Sebenarnya saya sempat ragu untuk menonton Posesif. Pasalnya Thor waktu itu juga baru saja release. Namun karena @Adrianoqalbi ngetwit pujian pada Gina S. Noer atas cerita di film Posesif yang cukup memikat dengan kompleksitasnya, sebagai hamba kolam tai yang taat, akhirnya saya memantapkan tekad untuk menonton film ini.
Selain itu, saya yakin Thor masih bakal lama bertahan di bioskop. Sedangkan Posesif, siapa yang tau. Film Posesif menceritakan tentang pasangan Lala dan Yudhis. Sosok anak SMA yang masih unyu-unyunya, yang ternyata menjalani sebuah hubungan percintaan kompleks. Seperti judulnya, film ini menceritakan tentang keposesifan pada sebuah hubungan. Yudhislah yang begitu posesif pada Lala.
Tingkat posesif yang dilakukan Yudhis bukan tingkat posesif biasa—seperti selalu minta dikabarin atau selalu minta izin tiap kali mau pergi sama orang—, tingkat posesif Yudhis sudah sangat akut. Selain sikap posesif Yudhis pada Lala, Yudhis juga kerap melakuan tindak kekerasan pada Lala, lebih dari itu, bahkan Yudhis berani melakukan hal-hal gila demi Lala. Yudhis yang posesif dan gila ini sebenarnya sangat berbahaya bagi hidup Lala. Tapi namanya juga cinta, meski berbahaya tetap saja dijalani. Lebih gilanya lagi, Lala bahkan merasa bertanggung jawab atas sifat Yudhis ini. Dia merasa bahwa hanya dia yang bisa mengubah Yudhis.
Hubungan cinta anak SMA yang diawali dengan manis berakhir dengan penuh kegilaan. Cowoknya gila, yang cewek ketularan gila, dan mereka berdua akhirnya sama-sama gila. Statement “Cuma aku yang bisa ngerti kamu” menunjukan bahwa mereka sudah sangat terobsesi pada konsep memiliki. Hubungan mereka akhirnya menjadi sebuah Toxic Relationship. Hubungan yang beracun. Berbahaya.
Tak heran jika Adrianoqalbi memuji cerita yang ditulis Gina S. Noer di film Posesif ini. Saya sudah merasakan sendiri bagaimana di dalam bioskop perasaan saya diubek-ubek melihat hubungan Yudhis dan Lala. Awalnya terasa sweet, semakin sweet, kemudian menjadi agak menjijikan, lama kelamaan berangsur menggemaskan, semakin lama saya semakin kesal, tiba-tiba terasa creepy dan akhirnya saya cuma bisa merasa miris. Cerita film ini juga dibuat sedekat mungkin dengan realitas yang ada. Pemilihan Adipati Dolken dan Putri Marino sebagai pemeran juga pilihan yang pas. Sebagai penonton, saya bisa merasakan bahwa mereka seperti anak SMA pada umumnya. Beraktivitas layaknya anak-anak SMA dan yang terpenting ganteng dan cantiknya masih manusiawi.
Akting Adipati Dolken dan Putri Marino juga sangat bagus. Mereka berdua bisa benar-benar masuk dalam karakter masing-masing. Bahkan Adipati yang harus memerankan seorang yang agak “sakit” pun terasa sangat luwes. Tapi untuk pemeran di film ini, yang mendapat tempat di hati saya tetap akting dari Cut Mini. Saya belum pernah melihat Cut Mini memainkan peran seperti di film ini. Eksekusi Cut Mini dalam memainkan perannya di film ini luar biasa bagusnya. Meski cuma beberapa kali muncul, tapi Cut Mini sukses membuat saya bergidik, apalagi saat adegan di kamar Yudhis. Bengis namun tetap elegan. Perfect banget lah.
Melihat akting mereka, tak heran jika mereka mendapatkan nominasi FFI. Putri Marino sebagai pemeran utama wanita terbaik, Adipati Dolken sebagai pemeran utama pria terbaik dan Cut Mini sebagai pemeran pendukung wanita terbaik.
Selain cerita dan akting para pemainnya yang mempesona, gambar yang dihadirkan di film Posesif ini juga keren-keren. Sejak awal dimulainya film, scene Lala saat lari diwaktu subuh terasa sangat asli. Banyak beauty shoot juga yang dimunculkan tiap kali ada adegan di dalam kolam renang.
Akan tetapi, yang cukup mengganggu buat saya adalah switch yang terlalu cepat untuk tiap scene. Plot cerita memang tidak kemudian menjadi bolong, tapi cepatnya perpindahan scene ini seperti membuat aliran ceritanya terasa kurang smooth. Jika kalian tidak terganggu, anggap saja saya yang katro—karena tidak paham film. Tapi memang itu yang saya rasakan—yang diamini juga oleh teman yang saya ajak nonton berdua.