Film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang diadaptasi dari novel mahakarya sastrawan sekaligus budayawan Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau Hamka menjadi produksi termahal yang diciptakan Soraya Intercine Films.Sutradara sekaligus produser film tersebut menegaskan hal itu dikarenakan harus membuat suasana cerita film seperti yang dikisahkan pada tahun 1930-an sesuai dengan era novel.
Banyaknya riset dan hal-hal yang wajib dipenuhi guna mendapatkan gambar yang maksimal, menjadi ongkos produksi tinggi. “Ini menjadi film termahal yang pernah diproduksi, mungkin selamanya. Film ini akan 100 persen sama dengan buku karya Buya Hamka dengan judul yang sama. Saya kalau bikin adaptasi 100 persen sama, supaya penonton merasakan visualnya,” kata Sunil di kantor Soraya Intercine Films, Jakarta, Selasa (19/11) yang enggan menyebutkan rincian nilainya.
Observasi, proses pra-produksi, casting, sampai penulisan skenario pun dimulai sejak tahun 2008. Bahkan, Sunil pun sempat ragu film ini dapat diselesaikan karena cukup panjang prosesnya. Salah satu elemen tersulit adalah menemukan kapal yang menyerupai kapal Van Der Wijck ditahun 1930-an. Akhirnya dibuat ulang replika kapal tersebut dengan memesan kapal dari Belanda yang memang produsen asli kapal Van Der Wijck.
“Kita cari kapal yang mirip Van Der Wijck itu susah di sini. Akhirnya kita minta blueprint dari Belanda dan kita membuat kapal itu. Proses mencari kapalnya sendiri 3 tahun, proses pembuatan kapal setahun. Makanya kita agak susah produksinya. Hal inilah yang membuatnya menjadi lama,” ungkap dia.
Semua itu dilakukan agar penonton yang membaca novel mendapat gambaran kapal yabg semirip mungkin dengan aslinya, mulai dari bentuk, warna, hingga beratnya. Begitu juga dengan mobil yang berlalu lalang harus sama dengan yang beredar di sekitar tahun tersebut yang dicari dari kolektor mobil era lama. Kesulitan lainnya adalah sang sutradara juga mencari laut yang tidak memiliki ombak kencang karena kapal Van Der Wijck diceritakan tenggelam bukan karena ombak besar. Sementara tempat syuting lautnya kencang sekali.
Akhirnya tim produksi mendatangkan tenaga ahli dari luar untuk menampilkan efek tenggelam tanpa menggunakan animasi. ”Selain itu, film ini juga melibatkan desainer Samuel Wattimena yang paham akan tren busana di tahun 1930-an. Riset busana susah. Yang riset orang-orang desain. Samuel sangat mengerti. Adat padang dia juga ngerti, songket, baju nikah dan sebagainya. Jadi saya agak tenang,” jelasnya.
Salah satu penulis skenario Donny Dhirgantoro menjelaskan skenario membutuhkan 2 tahun dengan riset yang mendalam. Bersama dengan Imam Tantowi, keduanya mencari skrip yang sesuai dengan era tersebut mengenai kapal hingga adat Minang untuk menjadi bahan para pemain film.