Jakarta, 16 April — Kali ini kami diberikan kesempatan oleh Konami untuk mengulas versi remastered dari salah satu gim JRPG ikonik yang rilis pada PS1 dulu, yaitu Suikoden 1 & 2 HD Remaster!
Diulas oleh Teo Ariesda
Untuk versi PC
Sebenernya aku jadi cukup ragu apakah aku mau bikin review ini buat difokuskan ke pemain-pemain baru atau para veteran yang sudah khatam banget sama gimnya dan lebih banyak mendongeng aja.
Tapi akhirnya aku putuskan buat memberikan pengulasan buat pemain-pemain baru juga supaya bisa nyemplung dan nyobain gim JRPG terbaik yang pernah dibikin oleh Konami, atau lebih tepatnya almarhum Yoshitaka Murayama selaku produser, writer, director buat Suikoden I dan II.
Jadi kita masuk aja ke review-nya sekarang. Let’s go, guys!
Review Suikoden 1 & 2 HD Remaster – Bagian Pertama
Suikoden 1 Angkat Cerita Resistansi Liberation Army dari Ketidakadilan Scarlet Moon Empire
Mengikuti kisah Tir McDohl, putra dari Teo McDohl—salah satu dari Five Great General dari Scarlet Moon Empire di Gregminster, yang juga menjadi kota kelahiran karakter utama kita. Konflik utama dari gim ini dimulai dari Ted, temannya Tir, yang ternyata adalah pemilik dari Soul Eater Rune, sebuah rune yang dicari-cari oleh penyihir kerajaan bernama Windy untuk kepentingan pribadinya. Karena dirasa sudah tidak bisa selamat, akhirnya Soul Eater ini dipindahtangankan ke Tir. Gara-gara ini, Tir dan teman-temannya terpaksa kabur dari kejaran para prajurit Scarlet Moon Empire, yang kemudian mempertemukan mereka dengan kelompok Liberation Army—sebuah organisasi yang berniat menggulingkan kekaisaran karena dinilai sudah terlalu korup dan kerap melakukan penindasan terhadap berbagai pihak.
Meskipun terkesan biasa saja dan terasa terlalu cepat, setidaknya alur ini tetap lebih baik daripada Eiyuden, karena di sini proses passing the baton dari Odessa, selaku pemimpin Liberation Army, ke Tir sudah jelas sejak awal dan tidak ada dualisme protagonis. Di Eiyuden, sepertinya ¾ cerita masih berfokus pada Perielle, sang putri dari salah satu bangsawan yang bekerja di balik layar, sementara Nowa terkesan seperti karakter yang hanya disuruh-suruh.
Kematian Odessa ini kemudian mengantarkan Tir ke Mathiu Silverberg, saudara dari Odessa, yang secara tersirat diminta untuk menjadi pemimpin Liberation Army. Namun permintaan itu tentu saja ditolak oleh Mathiu karena ia memang sudah tidak ingin terlibat lagi. Hal ini berkaitan dengan strategi perang di masa lalu yang menyebabkan Kalekka menjadi kota hantu. Ia pun akhirnya menunjuk Tir untuk menjadi pemimpin Liberation Army, sementara dirinya mengambil peran sebagai ahli strategi demi mencapai kemenangan, terlebih ketika jumlah tentara mereka tidak sebanding dengan kekuatan Scarlet Moon Empire. Salah satu strateginya adalah dengan melemahkan Scarlet Moon Empire melalui para Five Great General yang ternyata telah terkena pengaruh sihir dari Windy, sembari bekerja sama dengan wilayah-wilayah lain untuk memperkuat pasukan.
Selebihnya bisa ditebak lah ya arahnya mau ke mana, tapi kalian mainkan sendiri untuk tahu lebih lengkapnya.
Seri Suikoden yang Berhubungan Semakin Perkaya Lore dari Gimnya
Tentu, sebagai gim klasik, jualan utama dari gim JRPG ini adalah narasi, dialog, musik, dan juga karakter—karena dari segi grafis masih sangat jauh kualitasnya pada masa itu. Meskipun ceritanya termasuk sederhana, setidaknya elemen-elemen yang dihadirkan mampu memperkuat narasinya dengan baik. Khususnya lore yang diangkat oleh Leknaat tentang 27 True Runes yang hingga kini belum ada daftar lengkapnya dan masih relevan sampai sekarang.
Terlebih, seluruh dunia dalam seri Suikoden yang saling terkoneksi juga menambah detail-detail menarik dalam gimnya. Misalnya, Ted sebagai pemilik Soul Eater Rune yang ternyata sudah menghindari Windy sejak 300 tahun yang lalu, juga muncul di Suikoden IV. Ada juga bangsa Sindar yang nomaden dan meninggalkan banyak bangunan kuno yang hingga kini masih menjadi misteri, dan masih banyak lagi.
Lalu, salah satu hiburan utama dalam gim ini adalah pilihan dialognya yang cukup bodoh—dalam artian yang menghibur—untuk dipilih. Humor-humor tipis yang disampaikan lewat teks membuat kita membaca dengan seksama, dan di beberapa bagian terasa agak sayang kalau harus di-skip-skip. Tapi aku yakin beberapa dari kalian pasti lebih memilih untuk nge-skip story-nya.
Overall, buat story sebenarnya nggak terlalu kuat, dan setelah replay gim ini lagi, aku jadi tahu kenapa gim pertamanya ini bisa nggak serame seri keduanya. Semuanya terasa cukup instan, dan bridging-nya yang terlalu cepat membuat banyak hal yang seharusnya bisa mengelaborasi ceritanya jadi kurang tergali dengan dalam.
Rekrutmen 108 Karakter yang Jadi Gimik Utama Seri Suikoden
Masih sedikit terkait soal story, kalau kalian belum tahu, rekrut 108 karakter adalah staple dari seri Suikoden, yang diadaptasi dari salah satu dari empat literatur klasik Tiongkok, yaitu Water Margin. Sisanya mungkin kalian lebih familiar, yaitu Journey to the West alias Wukong, dan Romance of the Three Kingdoms. Sementara Dream of the Red Chamber sepertinya kurang dikenal karena belum pernah diangkat menjadi gim yang ikonik.
Balik lagi ke Water Margin, seri Suikoden mengangkat inti cerita yang sama seperti literatur klasik ini, yakni 108 outlaws atau buronan yang saling bekerja sama untuk menggulingkan pemerintahan saat itu. Sebelumnya, di sini aku juga mau ngucapin terima kasih buat teman-teman yang udah shout out kalau gim ini diadaptasi dari literatur klasik Tiongkok tersebut.
Rekrutmen ratusan karakter ini adalah mekanik paling menarik kalau dibandingkan dengan gim-gim JRPG sejenis. Suikoden berhasil menghadirkan berbagai macam karakter dengan latar belakang dan fungsi yang berbeda-beda juga. Ada yang fokus buat combat, buka shop di markas, atau berbagai utilities lain yang bikin karakternya menarik untuk didapatkan atau dilengkapi.
Keberadaan para karakter yang masuk sebagai Star Destiny ini juga bisa dimanfaatkan buat mix and match party sesuai kebutuhan kalian. Mau fokus di magic atau serangan melee? Semuanya bisa kalian atur sedemikian rupa selama sudah merekrut karakter-karakter tersebut.
Oh ya, untuk perekrutan ini, sebagian besar cukup dengan ngobrol langsung sama mereka. Jadi, mekanisme perekrutannya nggak terlalu kompleks. Tapi tentunya, yang dulu sudah pernah mainin gimnya pasti lebih familiar dengan lokasi karakter dan cara merekrutnya dibandingkan orang-orang yang baru memainkan gim ini. Tapi tenang, berbagai guides sudah tersedia sejak lama buat bantu merekrut mereka—dan masih works sampai sekarang.
Peningkatan Grafis dan Berbagai Quality of Life yang Lumayan Signifikan Dibandingkan Versi Original
Dibandingkan versi originalnya, tentu di sini sudah terlihat perubahan yang lumayan signifikan dari segi visual. Sekarang, ikon karakter yang muncul di kiri bawah teks dialog juga diperbaiki dan memiliki kualitas yang mirip dengan seri keduanya di versi remaster ini. Dulu sebenarnya, di versi original, visualnya lebih artistik dan berkarakter. Cuma, sepertinya orang-orang lebih familiar dengan visual dari Suikoden II.
Peningkatan dari segi visual ini tentunya juga hadir dalam grafis dunia yang lebih baik, tapi tetap tidak meninggalkan identitasnya sebagai gim klasik dengan segala batasannya. Di sini, visual Suikoden I entah kenapa tidak mengambil pendekatan seperti Suikoden II yang lebih banyak bermain dengan lighting dan shadow, selain juga memberikan objek dengan kualitas HD.
Beberapa fitur yang hadir dalam seri ini, yang sangat membantu gameplay kalian (termasuk yang ada di Suikoden II juga), adalah sekarang Tir sudah bisa lari. Sebelumnya, dia cuma bisa jalan—setidaknya sampai kalian bisa merekrut Stallion, elf berambut biru yang lari kencang menggunakan True Holy Rune-nya.
Sedangkan fitur baru lainnya yang dihadirkan untuk kedua seri ini adalah:
-
Sekarang kalian bisa berjalan dengan 8 arah mata angin. Di sini, Konami memberikan perspektif baru untuk Tir dan Riou dalam tambahan empat arah berbeda yang membuat gimnya terasa fresh dan cukup awkward, karena dulu belum ada tambahan perspektif seperti ini.
-
Fitur increase battle speed dan command Auto yang di-revamp. Sekarang kalian bisa menyerang terus secara otomatis sampai kalian menghentikannya dengan menekan tombol segitiga. Dua fitur ini sangat memudahkan dan bikin proses grinding jadi jauh lebih cepat. Cuma memang agak berisiko juga karena serangannya nggak bisa langsung berhenti di tengah-tengah. Tapi overall, fitur ini sangat membantu buat kalian yang nggak punya banyak waktu, tapi tetap ingin menamatkan Suikoden yang dulu kalian mainkan di PS1.
-
Tingkat Difficulty yang terdiri atas Easy, Normal, dan Hard. Aku saranin buat kalian yang punya waktu luang, coba main di Hard supaya dapat tantangan ekstra.
Sedikit tambahan mungkin adalah keberadaan penyaduran baru untuk objek-objek tertentu. Seperti misalnya Star Dragon Sword sekarang menjadi Celestial Sword, Double-beat menjadi Double-jab, dan masih banyak lagi. Nggak perlu khawatir karena perubahan ini nggak terlalu major sampai bikin bingung kok.
Perang Besar yang Masih Sangat Sederhana
Selain rekrutmen karakter, seri Suikoden juga terkenal dengan perang besarnya yang biasanya terjadi beberapa kali sepanjang permainan. Agak disayangkan, mungkin karena gim ini rilis tahun 1995, mekanik perang besarnya jadi tidak terlalu kompleks karena hanya menerapkan metode jankenpon alias suit Jepang. Bahkan, sistem perangnya ini juga semakin dipermudah dengan adanya abilities dari tiap karakter yang kalian rekrut—salah satunya bahkan bisa bikin kalian gampang banget menebak serangan apa yang bakal dipakai musuh.
Mekanisme Kombat yang Masih Sangat Sederhana
Dari sisi combat-nya sendiri pun terasa lebih terbatas karena di sini tiap karakter hanya dibekali satu Rune Slot saja, tidak seperti seri Suikoden lainnya yang setidaknya menyediakan 3 slot. Jadi, tiap karakter harus memiliki role yang spesifik dan terbatas, serta tidak bisa dijadikan all-rounder karena pilihan Rune yang cuma satu.
Sementara itu, sistem combat turn-based-nya masih sama seperti dulu. Sebagai seseorang yang besar dengan gim-gim bergenre seperti ini, aku pribadi sih nggak terlalu masalah. Tapi, untuk pasar sekarang, mungkin cukup sulit untuk menerima genre “nyerang kok gantian” ini.
Tapi setidaknya, selain Rune, di sini masih tersedia Unite Attack yang menambah opsi serangan lewat kombinasi dari beberapa karakter. Ini juga bisa dibilang sebagai staple dari Suikoden, karena biasanya kombinasi karakternya unik-unik—dari cuma dua orang, tiga orang, sampai empat atau lima orang sekaligus.
Menarik Kalau Kalian Ingin Mendapatkan Konteks Lebih Banyak di Suikoden 2
Pertanyaan terbesarnya adalah: Apakah worth it buat main yang pertama?
Menurutku pribadi, iya, karena kalian bakal dapat lebih banyak konteks tentang beberapa adegan, dialog, dan karakter yang muncul di Suikoden II. Belum lagi nanti kalian bisa dapet side quest tambahan dan merekrut karakter utama dari Suikoden I juga, yang punya Soul Eater Rune—yang lumayan berguna buat lawan Final Boss.
Tapi tetap, menurutku hal yang paling bikin aku nyaranin banget buat main gim pertamanya adalah referensi-referensi yang muncul di Suikoden II, yang bikin langsung ngeh: “Oh… ini mah dari dialog pas di sini,” atau “Oalah, ini referensinya dari adegan ini.” Buat playtime, kalian cuma butuh sekitar 13 jam buat tamat dan ngelengkapin semua Stars of Destiny-nya.
Lagipula, nggak akan ada Suikoden II kalau nggak ada Suikoden I, guys. Jadi menurutku, nggak ada salahnya buat memainkan seri pertamanya dulu sebelum memainkan masterpiece dari seri Suikoden ini.
Review Suikoden 1 & 2 HD Remaster – Bagian Kedua
Suikoden 2 Hadirkan Cerita Terbaik dari Keseluruhan Seri Suikoden
Ya, Suikoden II adalah bentuk penyempurnaan dari Suikoden I dari segi kedalaman konflik dan pengembangan karakter. Karena setelah aku memainkan keduanya, sebenarnya secara garis besar cerita keduanya tuh mirip. Cuma, Suikoden II berhasil mengelaborasi cerita dan berbagai konfliknya dengan lebih baik untuk memberikan playtime yang lebih panjang.
Dibandingkan pusat konflik Suikoden I yang lebih ke arah klenik karena melibatkan gendam dan Gate Rune, dalam Suikoden II konfliknya terasa lebih membumi dan ceritanya lebih mudah diterima—karena mungkin saja benar-benar bisa terjadi di masa lampau. Semuanya diceritakan secara rapi dan apik dengan masing-masing konfliknya.
Dijebak sama pasukan sendiri karena pengen ngerusak perjanjian perang sama City-State of Jowston. Ini bisa aku bilang sebagai salah satu gong pembuka tercepat dan terbaik sih. Tanpa banyak babibu, kita langsung diperkenalkan sama Luca Blight sebagai pemicu konflik yang menyulut kembali perang antara Highland dan City-State of Jowston, lewat adegan yang sangat epik di Promised Place.
Setelah terjun, si Riou selamat dan dijadiin “tahanan perang” sama Viktor dan Flik, karakter penting dari Suikoden I yang muncul lagi di sini, karena dia berasal dari Highland. Bagi kalian yang langsung main seri keduanya, mungkin bakal ngerasa kedua karakter ini biasa aja. Tapi kalau kalian main Suikoden I sampai tamat, kalian bakal ngasih ekspresi yang beda waktu kedua karakter ini muncul lagi di layar.
Luca Blight selaku jenderal perang Highland yang bengis makin menjadi-jadi buat memperluas wilayah Highland dengan cara yang nggak manusiawi—dari ngebakar desa sampai membunuh warganya secara sadis.
Di sini, Riou, Jowy, dan Nanami pun kabur ke Muse City setelah mendapatkan Rune of Beginning yang terbagi jadi Bright Shield dan Black Sword, sebelum akhirnya berpisah lagi karena takdir pemilik kedua Rune ini emang akan berjalan secara berseberangan. Serangkaian peristiwa di berbagai kota mengantarkan keduanya jadi pemimpin di kubu masing-masing: Riou sebagai pemimpin New State Army, dan Jowy sebagai salah satu jenderal Highland yang akhirnya jadi King of Highland melalui rencana yang cerdik.
Kembali lagi ke Luca Blight, dibandingkan semua antagonis di seri Suikoden, kayaknya yang paling berkesan dan kerasa banget ancamannya adalah si Luca ini. Dux Aldric dari seri Eiyuden sih nggak ada apa-apanya. Aku yakin kalian dulu bener-bener kaget banget di tengah cerita bakal ngelawan boss seperti ini, yang kudu dilawan tiga kali, dihujani anak panah, ditambah pertarungan satu lawan satu, dan baru bener-bener keok.
Kalau dibandingin, Suikoden II itu mirip Far Cry 3 dengan Luca yang mirip Vaas Montenegro. Bedanya, gim ini sampai akhir pun masih tetap epic. Nggak seperti Hoyt yang jadi final boss tapi kalah ikonik ketimbang Vaas.
Serangkaian peristiwa yang aku sebutkan tadi juga nggak bisa dianggap remeh. Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, konflik yang dihadirkan Suikoden II ini bener-bener membumi dan terasa dekat sama kita. Contohnya, konflik di South Window City dengan kenaifan Lord Granmeyer yang bertipe soft and wise leader akhirnya kepalanya dipenggal dan dipajang di depan kantornya. Lalu, ada juga Two River City yang lagi-lagi disebabkan sama kenaifan Lord Makai yang percaya-percaya aja dan ngasih wilayah bagian Kobold ke Highland tanpa persetujuan Ridley, yang bikin dia emosi sampe ke ubun-ubun. Para Winger yang nggak disukai kobold dan manusia di kota itu karena suka nyolong, tapi akhirnya ikut ngebantu perang. Konflik yang melibatkan tiga ras ini, meskipun terbilang singkat, bener-bener menghadirkan masalah kepercayaan dan ras dengan sangat baik.
Lalu yang lumayan kompleks adalah Teresa bersama kesilapannya di Greenhill. Sebenernya, apa yang dilakukannya nggak salah-salah banget, cuma emang dia berada di posisi yang serba salah aja. Jadi, konflik awalnya adalah di Greenhill ini kedatangan para prajurit Muse yang kabur karena baru saja diserang Highland. Awalnya, ini disambut suka cita sama warga Greenhill dan juga Teresa karena mendapatkan prajurit baru buat mempersiapkan perang selanjutnya. Tapi, eh ternyata ini adalah rencana awal si Jowy. Dia dan pasukannya cuma mandeg aja gitu di depan Greenhill, tapi nggak nyerang sama sekali. Apa alasannya? Ternyata, dia menunggu supaya ration atau ransum dalam kota itu habis, karena prajurit yang makin banyak ini mengurangi jatah yang seharusnya cukup buat warga Greenhill doang selama beberapa waktu. Ini menyebabkan ketegangan di antara warlok Greenhill dan prajurit Muse yang saling berebut ransum. Strategi jenius ini pun mengantarkan pada kemenangan Highland tanpa harus mengangkat senjata.
Sedangkan Teresa jadi bulan-bulanan warlok Greenhill karena dianggap nggak tegas dan nggak bisa memberikan solusi atas masalah yang terjadi, sampe harus ngumpet dulu untuk sementara, sebelum akhirnya kabur dan gabung ke New State Army. Mungkin kabur bukan kata yang tepat, tapi melawan dengan cara lain. Bahkan sebelumnya, ia sempatkan “pamit” ke para warganya dulu, padahal saat itu kotanya sudah dikepung sama Highland, buat menunjukkan keberanian dari sosok Teresa yang ternyata masih didukung sama warganya. Entah kenapa cerita ini bener-bener terasa sangat relevan dengan santernya berita pengungsi Rohingya beberapa tahun lalu dan terasa sangat emosional.
Belum lagi dengan konflik bersama Matilda dan pemimpinnya, Gordeau, yang egois dan nggak mau ikut campur sama konflik antara New State Army dan Highland. Sebenernya, apa yang dilakukan Gordeau sih nggak salah-salah amat ya, karena saat itu Matilda masih aman-aman aja. Tapi memang cara penunjukkan sikapnya bener-bener bikin kita, Miklotov, Camus, dan separuh prajurit Matilda pada kesel mampus sama karakter ini.
Sedikit kembali ke awal, narasi yang aku sampaikan ini bikin apa yang dilakukan Apple, Riou, dan Nanami buat merekrut Shu sebagai ahli strategi jadi bener-bener worth it. Bahkan Apple rela sujud di depan Shu supaya ia bergabung ke New State Army. Belum lagi mencari koin bertiga di sungai Radat yang dingin sampai ketemu juga menjadi salah satu adegan paling ikonik dari seri ini. Menunjukkan seberapa desperate dan butuhnya Apple buat mengatasi masalah yang disebabkan oleh Luca Blight dan Highland.
Menariknya, cerita di sini nggak lurus-lurus aja, karena ternyata bawahan Luca itu pada nggak suka sama dia dan beberapa di antaranya lebih loyal sama Raja Agares alias bapaknya si Luca. Contohnya si Jenderal Kiba yang akhirnya bergabung ke New State Army setelah kalah. Karena itu, Jowy yang berencana menggulingkan Luca didukung penuh sama jenderal-jenderal lain. Sebuah dinamika yang menarik dan terasa make sense aja gitu semua alasannya. Baik buat menggulingkan atau alasan Kiba buat bergabung, semua bisa dijelaskan motifnya dengan sangat baik.
Jujur, aku nggak peduli kalo ini spoiler, karena cerita yang dibangun secara epik ini emang harus disebarkan buat para penggemar Suikoden atau pasar baru, buat melirik dan mencoba gimnya lagi. Karena memang se-epik itu cerita dari Suikoden dan aku sarankan banget buat kalian penggemar JRPG buat cobain gim ini.
Rasa penasaranku semakin diperkuat waktu Suikoden: The Anime diumumkan dan bakal mengadopsi cerita Suikoden 2. Maksudnya, di sini kita diperlihatkan kalau Jowy emang cunning dan capable banget buat naik rank dengan cepat. Tapi, di sisi lain, kita yang bermain sebagai Riou malah nggak tahu apa yang membuat dia spesial karena dia silent protagonist. Makanya, semoga di anime-nya nanti kita bisa ngeliat karisma seperti apa yang dibawa oleh Riou sampe bisa memimpin pasukan dari berbagai daerah, buat bersatu melawan Highland. Seharusnya bakal jadi epic banget.
Berbagai Peningkatan Grafis, Elemen Quality of Life, serta Kekuatan Musik dan Scoring yang Luar Biasa
Lagi-lagi di sini Suikoden 2 sebagai gim klasik pastinya menjual narasi, dialog, musik, dan juga berbagai karakter. Sama seperti Suikoden 1, keempat elemen ini bener-bener dikerjakan secara maksimal buat memberikan pengalaman bermain yang gila. Bahkan, karena mungkin teknologinya udah lebih baik, sekarang karakternya bisa melakukan beberapa gestur buat memperkuat message yang ingin disampaikan. Contohnya dari terkejutnya Nanami saat Riou pulang ke rumah di Kyaro Town. Pelukan kejutan dari Nanami ini memperkuat kesan bahwa ia benar-benar rindu banget sama Riou yang selamat dari jebakan Highland.
Beda dari Suikoden 1, visual dari Suikoden 2 juga menambahkan lighting dan shadows yang bikin grafisnya jadi terlihat lebih deep dan membuat beberapa adegan jadi semakin emosional. Contohnya saat menunggu kedatangan Jowy di Muse City yang langsung dipeluk erat oleh Pilika, mencari koin Shu di sungai Radat yang dingin, dan lain-lain.
Mungkin beberapa dari kalian agak menyayangkan kenapa gim remastered ini nggak menghadirkan suara dialog atau voice actor, tapi aku pribadi sih lebih baik seperti ini dan menonton versi anime-nya daripada ekspektasi rusak karena VO-nya nggak sesuai harapan kita. Menurutku, untuk seri Suikoden 2 memang sudah perfect seperti itu.
Peningkatan Kombat yang Sebenarnya Tidak Signifikan, Tapi 3 Rune Slot Berhasil Tambah Keleluasaan dalam Memperkuat Karakter
Secara kombat sekarang lebih baik daripada Suikoden 1 karena sekarang tersedia 3 slot Rune untuk beberapa karakter yang membuat playstyle atau build kalian jadi lebih mantap.
Lagi-lagi keberadaan 108 karakter yang bisa direkrut juga semakin menambah banyak opsi yang bisa dipilih buat party kalian. Banyaknya pilihan party ini juga memberikan kalian opsi beragam Unite Attack yang menarik dan wajib dikulik buat mendapatkan party sesuai keinginan kalian.
Mekanik Perang Besar yang Jauh Lebih Baik
Perang besar di sini juga sudah di-revamp menjadi semacam gim-gim tactical RPG dan berbasis pada stats serangan dan pertahanan ditambah probabilitas berdasarkan stats itu. Bahkan kalian bisa mengatur siapa saja yang memimpin pasukannya dengan stats tambahan dan ability masing-masing buat menemukan formasi perang yang pas.
Cukup disayangkan sebagian besar perang besar ini terasa scripted dan kita seakan nggak pernah berperang dalam posisi yang sepadan. Di awal kita lebih banyak diserang karena prajurit yang kalah jumlah, sedangkan di akhir saat kita menyerang, jumlah pasukan musuh jadi nggak sepadan sama pasukan kita. Entah ini cuma perasaanku aja atau kalian punya pendapat yang beda, silakan komen di bawah.
Selain berbagai fitur baru yang aku jelaskan sebelumnya, di sini juga ada fitur baru yang memungkinkan kalian membuang batasan waktu buat menyelesaikan side quest Clive yang mengejar-ngejar Elza. Tentunya ini opsional buat kalian yang pengen ngejar pake batasan waktu atau nggak.
Terakhir mungkin aku ngebahas dikit soal banyaknya activity yang bisa dilakukan dalam kastil. Dulu di Suikoden 1 mungkin minigame kalian cuma sebatas Chinchirorin, tebak lokasi koin, sama cocokin gambar aja. Tapi kalau di Suikoden 2, ada masak-masak bareng Hai Yo, Chinchirorin juga, sampai mukulin tikus tanah bareng Tony. Intinya konten dari gim keduanya ini jauh lebih banyak dan beragam ketimbang Suikoden 1.
JRPG TERBAIK dari Konsol PS1!
Overall, kedua gim ini memiliki charm-nya masing-masing dan aku sarankan buat memainkan yang pertama dulu buat mendapatkan pengalaman bermain dan referensi narasi yang lebih komplet. Tapi aku nggak membatasi kalian kalau memang cuma pengen main yang kedua doang sih. Karena secara garis besar, Suikoden 2 eksekusinya jauh lebih baik dan lebih populer dari yang pertama. Lalu, dari segi narasi juga lebih kaya seri keduanya dengan dinamika cerita dan konflik yang sangat menarik. Aku sih puas banget memainkan keduanya, baik dari narasi konfliknya, sampai mendapatkan 108 karakter buat mendapatkan true ending.
Simak ulasan versi videonya di bawah:
Gimana pendapat kalian tentang gim ini, guys?
Ikuti kabar-kabar terbaru dari The Lazy Monday melalui:
Youtube | Instagram | X | Tiktok