Tidak lama setelah kemunculan dari film DC Batman VS Superman yang bisa dikatakan amburadul akhirnya Wonder Woman hadir dengan tampilan yang segar dan kembali memberikan bukti bahwa DC akhirnya mampu untuk menyajikan film Superhero yang berkualitas. Film Wonder Woman sendiri akan menyajikan mundur satu abad ke belakang saat Perang Dunia pertama tengah berlangsung, Diana Prince hidup tentram di pulau eksotis Themyscira bersama ibunya, Hyppolita (Connie Nielsen) dan penduduk pulau yang semuanya berjenis kelamin perempuan.
Jauh dari jangkauan manusia awam di luar sana, Diana dilatih oleh bibinya, Antiope (Robin Wright) untuk ilmu tempur dan bela diri. Hingga suatu hari, pesawat tempur yang dikemudikan mata-mata Inggris, Steve Trevor (Chris Pine) jatuh ke perairan mereka. Membuka mata Diana akan kehidupan di luar sana yang tengah dilanda peperangan. Bersikeras untuk mengakhiri perang dengan membinasakan Ares, dewa perang yang dianggap sebagai biang kerok kekacauan yang terjadi, Diana harus menghadapi kelamnya dunia fana dan kerasnya pertempuran antar manusia.
Ah, akhirnya… sebuah film superheroine yang dibuat dengan seharusnya. Setelah mengangkat film adaptasi komik dengan karakter utama perempuan laiknya Elektra dan Catwoman dengan hasil yang tak karuan, Hollywood kini mulai berjalan ke lajur yang benar dengan Wonder Woman ini. Dengan naskah tulisan Allan Heinberg serta pengembangan cerita dari Zack Snyder dan Jason Fuchs (Pan), Wonder Woman memang mengingatkan kita pada hikayat Captain America : The First Avenger. Pahlawan super yang muncul pada era PD dan melawan megalomaniak Jerman. Tapi yang membuatnya istimewa adalah baru kali ini kisah pahlawan super bergender wanita dibuat dengan serius, mahal, dan diarahkan sineas yang tepat. Jenkins yang penyutradaraan layar perak terakhirnya empat belas tahun yang lalu serta membuahkan Oscar bagi Charlize Theron, berhasil membawa kisah Diana dengan benar. Alurnya sedikit pelan di awal tapi dipenuhi maskulinitas yang dibawakan oleh Amazonian yang notabene tanpa lelaki satu pun. Hingga penemuan jati diri Diana yang lantas berkelana memenuhi takdirnya.
Jenkins memang menggambarkan Diana sebagai mahluk tak terkalahkan berkat darah dewa dewi Yunani yang mengalir di tubuhnya. Diana dengan mudah mengalahkan musuh-musuh manusianya, bahkan klimaksnya pun terbilang tak cukup sukar. Dan Gadot yang dieksploitasi habis-habisan di sini berhasil tampil gemilang mendominasi layar dengan pesonanya. Pun pemain pendukung selain Gadot laiknya Pine (yang cukup padu bersama Gadot), Wright, Davis, Elena Anaya hingga Ewen Bremner tak lantas tertutup begitu saja performanya, rata-rata mendapat bagian penting kala porsinya muncul di layar. Karakter Diana dibuat lumayan simpatik, elegan, naif dan begitu jago dalam kelahi sehingga membuat kita perduli pada sepak terjangnya di film. Bahkan filmnya bisa tampil makin cadas dengan iringan musik tema Junkie XL yang kini kadung melekat pada sosok Wonder Woman (walaupun Henry Gregson-Williams yang memegang tata musiknya kali ini)
Memang pelintiran di penghujung narasinya terkesan dipaksakan dan kurang menggigit, tapi secara keseluruhan Wonder Woman adalah langkah pertama yang tepat bagi superheroine yang bisa membuat saingan DC, Marvel perlu mengevaluasi isu seksisme dalam produk waralaba mereka. Wonder Woman juga mengembalikan kehormatan DC Expanded Universe (DCEU) setelah sempat tampil carut marut dengan Batman V Superman serta Suicide Squad. Semoga kisah liga pahlawan super Justice League yang rilis beberapa bulan mendatang bisa kembali megukuhkan derajat DCEU ke posisi yang selayaknya.